KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan
rahmat dan karunia-Nyalah sehingga Penyusunan Makalah ini telah dapat
diselesaikan.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu
tugas terstruktur guna untuk mendapatkan nilai yang baik di mata Tasawuf
di Iain Syeh Nurjati. Selesainya
penyusunan ini berkat bantuan dari berbagai pihak oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1.
Bapak
Dr. H. Slamet Firdaus, MA selaku Dosen Mata Kuliah yang telah meluangkan waktu,
tenaga dan pkiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam
rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
2.
Rekan-rekan
Kelompok yang telah menyelesaikan makalah ini.
Serta kerabat-kerabat dekat dan rekan-rekan
seperjuangan yang penulis banggakan. Semoga Allah SWT, memberikan balasan atas
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari makalah ini
masih jauh dari sempurna oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya
konstruktif sangat diharapkan oleh penulis. Akhirnya penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkompeten. Amin.
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Masalahh……………………………………….. 3
1.2
Rumusan masalah……………………………………………….. 3
1.3
Tujuan………………………………………………………….. 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Syekh
Siti Jenar…………..…………………………………..
2.1.2 Biografi Syekh Siti Jenar…………………………….. 4
2.1.3 Konsep Ajaran Siti Jenar…………………………….. 4
2.2 K.H Ahmad Rifa’i…………..………………..………………
2.2.1 Biografi K.H Ahmad Rifa’i…………………………. 6
2.2.2 Karya-karya K.H Ahmad Rifa’i……………………... 7
2.2.3 Tasawuf K. H Ahmad Rifa’I………………………… 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………. 9
BAB
I
1.1 Latar Belakang masalah.
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait
dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat
berlakunya syariat tersebut. Syeh Siti Jenar memandang bahwa
kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa
yang disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan
yang hakiki dan abadi.
Pandangan Syekh Siti Jenar yang
menganggap alam kehidupan manusia di dunia sebagai kematian yang singgah dalam
raganya[1],
sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang mana ia
adalah manusia dansekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali Songo,
dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan
sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh
para Wali.
Dalam bidang
tasawuf, Ahmad Rifa’i lebih senang merumuskan tasawuf akhlaqi dari pada tasawuf
falsafi, karena tasawuf akhlaqi dianggap lebih sesuai dan lebih mudah untuk
diamalkan untuk kalangan masyarakat awam.[2]
Pada dasarnya
pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriah, tasawuf adalah ilmu tentang moral
agama (Islam). Jelas, sebab aspek moral tasawuf pada masa itu berkaitan erat
dengan pembebasan jiwa, klasifikasinya, uraian kelemahannya, penyakitnya,
ataupun jalan keluarnya. Dan karenanya dapat dikatakan bahwa tasawuf pada masa
itu ditandai ciri-ciri psikologis, disamping ciri-ciri moral. Bahkan ditegaskan,
bahwa pembahasan moral di kalangan para sufi pada masa itu berdasarkan analisis
terhadap jiwa manusia, dalam upayanya untuk mengetahui moral yang tercela.
Penyempurnaan moral, menurut mereka, harus dengan jalan menggantikan moral yang
tercela dengan moral yang terpuji.
1.2 Rumusan Masalah.
1.2.1 Bagaimana Karya-karya Syekh Siti Jenar?
1.2.2 Bagaimana Ajaran Tasawuf Syekh Siti Jenar?
1.2.3 Bagaimana Karya-karya K.H Ahmad Rifai
Batang?
1.2.4 Bagaimana Ajaran Tasawuf K.H Ahmad Rifai
Batang?
1.3 Tujuan.
1.3.1 Mengetahui Karya-karya Syekh Siti Jenar?
1.3.2 Mengetahui Ajaran Tasawuf Syekh Siti Jenar?
1.3.3 Mengetahui Karya-karya K.H Ahmad Rifai
Batang?
1.3.4 Mengetahui Ajaran Tasawuf K.H Ahmad Rifai
Batang?
[1]
Hasanu Simon, Misteri Syekh Siti Jenar, (Penerbit Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007) Hlm. 390
[2] Tim Penyusun, Majalah Ukhuwah (edisi perdana),
Yogyakarta, 2003, h. 38-39
BAB
II
2.1 Syekh Siti
Jenar
2.1.1 Biografi Syekh
Siti Jenar
Sebenarnya jati diri dan asal-usul
Syekh Siti Jenar sampai sekarang masih belum jelas, belum ada sumber yang
dianggap sahih. Di dalam beberapa publikasi, Nama syekh siti jenar
kadang-kadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa Jawa
Jenar artinya Kuning, Sedangkan Brit berasal dari kata Abrit yang
artinya merah, sama dengan abang yang artinya merah. Tidak jelas mengapa tokoh
ini dikonotasikan menjadi warna merah dan disisi lain dikonotasikan dengan
warna kuning, yang jelas merah tidak sama dengan warna kuning dan didalam
filosofi terkesan perbedaanya cukup jauh.
Diantara penulis Syekh Siti Jenar,
Rahimsyah (1997:211-212) menulis asal usul Syekh Siti Jenar dengan cukup tegas,
namun penulis ini tidak mencamtumkan daftar pustaka dalam buku-bukunya. Jika
diringkas menurut pendapat Rahimsyah silsilah syekh siti jenar adalah sebagai
berikut :[1]
1.
Syekh
Abdul Malik atau Asamat Khan yang mempunyai dua anak yaitu Abdulah Khanuddin
dan Maulana Abdullah.
2.
Maulan
Abdullah mempunyai anak bernama :
3.
Sykeh
Kadir Kaelani, Punya anak Beranama :
4.
Syekh
Datuk Isa, punya anak bernama :
5.
Syekh
Datuk Sholeh, punya anak beranama :
6.
Syekh
Jabaranta, atau Syekh Abdul Jalil atau Syekh Siti Jenar.
2.1.2 Konsep ajaran Syekh
Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait
dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat
berlakunya syariat tersebut. Syeh Siti Jenar memandang bahwa
kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang
disebut umum sebagai kematian justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang
hakiki dan abadi.
Konsekuensinya, ia tidak dapat dikenai hukum yang bersifat
keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk didalamnya hukum
syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut ulama pada masa
itu yang memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak harus
memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.
Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska
kematian. Syech Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam
dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para
ulama pada masa itu.
Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati
pada awal sejarah perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul
yang berkaitan dengan kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman
ketauhidan harus dilewati melalui 4 tahapan ; 1. Syariat (dengan menjalankan
hukum-hukum agama spt sholat, zakat dll); 2. Tarekat, dengan melakukan
amalan-amalan spt wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu; 3. Hakekat,
dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan; dan 4.
Ma'rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan berarti
bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan dibawahnya
ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti oleh para ulama pada
masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar.
Ilmu yang baru bisa dipahami setelah melewati ratusan tahun pasca
wafatnya sang Syekh. Para ulama mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman
dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada
masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan adalah
pada tingkatan 'syariat'. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki
tahap 'hakekat' dan bahkan 'ma'rifat'kepada Allah (kecintaan dan pengetahuan
yang mendalam kepada ALLAH). Oleh karenanya, ajaran yang disampaikan oleh
Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan kata 'SESAT'.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus berdebat masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apapun, setiap pemeluk sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa. Hanya saja masing - masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda - beda dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena itu, masing - masing pemeluk tidak perlu saling berdebat untuk mendapat pengakuan bahwa agamanya yang paling benar.
Syech Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
> Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti
Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling
Kawula Gusti dianggap bukan berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya,
melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya, 'Manunggaling Kawula Gusti' adalah bahwa di dalam diri
manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur'an
yang menerangkan tentang penciptaan manusia ("Ketika Tuhanmu berfirman
kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah.
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh Ku;
maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya (Shaad;
71-72)")>. Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan
dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al Qur'an
dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh
manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham 'Manunggaling Kawula Gusti'.
2.1 K.H Ahmad
Rifa’I Batang
2.3.1 Biografi K.H Ahmad Rifa’i
Menurut
informasi yang hingga kini masih menjadi keyakinan kalangan Rifa’iyah, KH.
Ahmad Rifa’i dilahirkan pada tahun 1786, di Desa Tempuran yang terletak di
sebelah selatan Masjid Besar Kendal. Ayahnya bernama Muhammad Marhum, anak
seorang penghulu Landeraad Kendal bernama RKH. Abu Sujak alias
Sutjowidjojo. [1]
Dalam usia enam tahun Ahmad Rifa’i
ditinggal wafat ayahandanya pada tahun 1207 H atau 1792 M di Kendal. Ia
kemudian diasuh oleh kakak iparnya yaitu Syaikh Asy’ary, Kaliwunggu Kendal.
Ahmad Rifa’i sejak kecil telah dikaruniai keistimewaan oleh Tuhan berupa
kecerdasan otak yang luar biasa, tinggi kemauan dan kepribadian luhur, tekun
dan cermat dalam memecahkan berbagai permasalahan, tegas dan teguh dalam
mengatakan dan mempertahankan pendapat, ikhlas dan rajin beramal shaleh
termasuk rela berkorban nusa dan bangsa.[2]
Di lingkungan inilah ia diajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan
agama Islam yang lazim dipelajari dunia pesantren seperti ilmu Nahwu, Sharaf,
Fiqh, Badi', Bayn, Ilmu Hadits, dan Ilmu Al-Qur'an. ia belajar bermacam-macam ilmu yang
berhubungan dengan bahasa Arab karena sekembalinya dari Mekah, ia banyak
melakukan penerjemahan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa yang
kemudian disebut sebagai kitab Tarajumah.[3]
2.3.3 Karya-karya K.H Ahmad Rifa’i
Di kalangan ilmuwan pengikut jamaah
Rifa’iyah belum ditemui kesepakatan mengenai berapa jumlah karya-karya Kiai
Ahamad Rifa’i ini, baik yang di karangnya ketika bermukim di Kalisalak maupun
ketika diasingkan di Ambon. Kuntowijoyo merinci karya-karya Kiai Ahmad Rifa’I
tersebut berjumlah 55 buah kitab.
Kitab-kitab tarajumah (nama
kitab tarjumah karya Kiai Ahmad Rifa’i) mulai ditulis ketika ia menetap di
Kalisalak, Batang yaitu mulai tahun 1254 H sampai tahun 1275 H. Karya-karya
ilmiah yang dihasilkan dari kecerdasan dan kemahiran Kiai Ahmad Rifa’i di
Kalisalak tersebut,19 adalah: Surat Undang-undang Biyawara(Maklumat),
selesai tahun 1254 H.
1.
Nasihatul
Awam (Nasehat Untuk Kaum Awam),
selesai tahun1254 H.
2.
Syarihul
Iman,(Penjelasan Tentang Iman),
selesai tahun 1255 H.
3.
Taisir
(Kemudahan), selesai tahun
1256 H.
4.
Bayan
(Penjelasan), selesai tahun
1257 H.
5.
Targib
(Kegemaran Beribadah),selesai tahun
1257 H.
6.
Thariqat
(Jalan Kebenaran), selesai tahun
1257 H.
7.
Inayah
(Pertolongan), selesai tahun
1256 H.
8.
Athlab
(Menuntut), selesai tahun 1259 H.
9.
Husnul
Mithalab (Kebaikan Ilmu yang dianut),
selesai tahun 1259 H.
10.
Thullah
(Pencari kebenran), selesa tahun 1259 H.
Dari sekian banyak karya ilmiah
K.H.Ahmad Rifa’i, maka kitab Abyan al-Hawāij menjadi fokus kajian.
Karenanya secara global ada baiknya diberikan penjelasan, bahwa kitab Abyan
al-Hawāij ini terdiri dari enam jilid yang masing-masing
mencerminkan satu kesatuan yang tak terpisahkan, mengingat materi yang
dimuat dalam kitab tersebut bersifat sambung menyambung. Membicarakan
bidang ilmu ushuluddin (teologi), fikih dan tasawuf, berbentuk nadzam,
enam jilid besar, 82 koras, 35. 992 baris atau 1636 halaman dengan 11x 2
baris, selesai tahun 1265 H atau 1848 M. Dalam kitab yang berjumlah enam
jilid itu, fikih dibahas secara lengkap mulai dari soal ibadah yang
berhubungan dengan Allah SWT (hablum minallah) sampai pada aspek
hubungan horizontal antara sesama manusia (hablum minannas). Meskipun
uraiannya tidak mendalam namun secara global hamper menyangkut semua
masalah yang bersangkut paut dengan fikih.
Demikian pula bidang tasawuf. Kajian
diawali dengan cara-cara penyucian diri (purifikasi) dan maqam-maqam
yang harus ditermpuh oleh seseorang guna mendekatkan diri kepada Allah
SWT yang pada puncaknya dapat mencapai tazali ( tersingkapnya tabir
Tuhan).
[1]
Abdul Djamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam
KH.Ahmad Rifa’I Kalisalak, ( LKIS, Yogyakarta, 200), hlm. 13.
[2]
Ibid, Hlm. 41
[3] Kitab-kitab
yang ditulis KH. Ahmad Rifa’i disebut orang dengan nama Tarajumah yang
artinya terjemahan dari kitab-kitab berbahasa Arab. Sebutan ini kemudian
diterapkan juga pada para santri yang mengaji kitab tersebut dengan sebutan
"santri Tarajumah". Demikian menurut Abdul Djamil, op. cit,
hlm. 13.
2.3.3Tasawuf
K.H. Ahmad Rifa’i
Ahmad Rifa’i dalam kitabnya
menyatakan:
Ilmu telung perkoro ushul figih
Tasawuf ikulah bab kawilang
Babbun ikulah bab nyata aken
tinamune
Ilmu tasawuf kang diwajib aken
ngupoyone
Ugo wajib di ngamal nuli
sakuwasane
Ingatase mukallaf ngawaruhi
ilmune
Setengah sifat kang pinuji
deneng sariat.
Lan sifat kang cinelo ing ati
maksiatnya
Terjemahnya
Ilmu terbagi tiga perkara yaitu
ushul fiqh,
tasawuf inilah permulaannya.
Bab inilah tentang bab akan saya
temukan,
ilmu tasawuf diwajibkan untuk
diusahakan juga diwajibkan
diamalkan semampunya oleh
mukallaf yang awam ilmunya,
juga syariah menghindarkan hati
dari maksiat yang tercela
Selanjutnya Ahmad Rifa’i
menegaskan:
Yoiku wolung perkoro ikilah
wilangane
Zuhud konaah sobar tawakkal ati
Mujahadah ridho syukur ikhlas
nejane
Khouf mahabbah ma’rifah kanggo
maknane
Terjemahnya.
Ada delapan perkara yang
disebutkan
yaitu zuhud, qona’ah, shabar,
tawakkal hatinya, mujahadah,
ridho, syukur, dan ihlas tujuannya,
juga ditambahkan lagi khouf
(takut)
muhibbah (cinta ), dan ma’rifat.
Ahmad Rifa’i dalam kitab Abyan al-Hawaij, lebih lanjut
menegaskan:
Yoiku wolung perkoro ikilah pertelo
Hubbud dunya thoma’ itba’ hawa
nafsu ketula
U’jub riya takabbur hasud sum’ah
ikulah bissu’ artine
Terjemahnya:
Delapan perkara yang merupakan
sifat-sifat tercela
yaitu mencintai dunia, tamak,
mengikuti hawa nafsu,
riya, ujub, takabbur, hasud, dan
sum’ah
Sebagaimana syairnya dibawah ini
:
Makna zuhud tapa mengo kadonyan
Iku ora nana ibarat kekarepan
Saking nyepeaken wongiku ning
atine
Saking arta balik yaiku tinemene
Nyepeaken wong iku ing atine
Saking gumantung kelawan artane
Terjemahnya :
Makna zuhud bertapa membelakangi
dunia
Itu tidak ada gambaran keinginan
Dari mengosongkan orang itu di
hatinya
Dari harta sebaliknya yaitu
Orang yang mengosongkan hatinya
Dari ketergantungan kepada harta
BAB
III
3.1 Kesimpulan
siti Jenar
mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaranWalisongo.
Pertentangan praktik sufi Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan
aspek formal ketentuan syariah yang
dilakukan oleh Walisongo.
Ajaran Siti Jenar yang
paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati,
Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Siti Jena
rmemandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian.
Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal
dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.
pemikiran
tasawuf Kiai Ahmad Rifa'i pada dasarnya juga merupakan bagian dari gagasan
untuk mempertahankan hubungan harmonis antara syari'at dan hakikat yang
dirumuskan dengan istilah Ushul, Fiqh, dan Tasawuf. Gagasan tasawuf Kiai Ahmad
Rifa'i tidak membentuk komunitas yang
disebut
tarikat sebagaimana ditulis oleh Alwan Khairi46 tetapi hanya sebatas ajaran
tentang pembinaan akhlak melalui pengisian diri dengan akhlak mahmudah dan
peniadaan diri dari akhlak madzmumah dalam rangka mencapai kedekatan pada Allah
yaitu Ma'rifat dan Taqarrub yang dapat dilakukan siapa saja tanpa harus melalui
tata aturan sebagaimana lazim terjadi.
0 Komentar